Rasa ingin
tahu pada setiap orang amatlah penting. Semua orang pemikir besar, para jenius,
adalah orang-orang dengan karakter penuh rasa ingin tahu. Sebut saja Thomas
Alva Edison, Albert Einstein, Leonardo Da Vinci, adalah orang-orang besar yang
hidup dengan rasa ingin tahu. Jadi jika para guru ingin menjadikan
siswa-siswanya sebagai pemikir-pemikir besar nan jenius, maka ia harus
mengembangkan rasa ingin tahu mereka.
Mengapa rasa ingin tahu itu
penting?
Ø Rasa
ingin tahu membuat pikiran siswa menjadi aktif. Tidak ada hal yang lebih
bermanfaat sebagai modal belajar selain pikiran yang aktif. Siswa yang
pikirannya aktif akan belajar dengan baik, sebagaimana yang dijelaskan teori
kontruktivisme, di mana siswa dalam belajar harus secara aktif membangun
pengetahuannya.
Ø Rasa
ingin tahu membuat siswa anda menjadi para pengamat yang aktif. Salah satu cara
belajar adalah yang terbaik adalah dengan mengamati. Banyak ilmu pengetahuan
yang berkembang karena berawal dari sebuah pengamatan, bahkan pengamatan yang
sederha sekalipun. Rasa ingin tahu membuat siswa lebih peka dalam mengamati
berbagai fenomena atau kejadian di sekitarnya. Ini berarti, dengan demikian
siswa akan belajar lebih banyak.
Ø Rasa
ingin tahu akan membuka dunia-dunia baru yang memantang dan menarik siswa untuk
mempelajarinya lebih dalam. Jika ada banyak hal yang membuat munculnya rasa
ingin tahu pada diri siswa, maka jendela dunia-dunia baru yang menantang akan
terbuka buat mereka. Banyak hal yang menarik untuk dipelajari di dunia ini,
tetapi seringkali karena rasa ingin tahu yang rendah yang siswa miliki, membuat
mereka melewatkan dunia-dunia yang menarik itu dengan entengnya.
Ø Rasa
ingin tahu membawa kejutan-kejutan kepuasan dalam diri siswa, dan meniadakan
rasa bosan untuk belajar. Jika jiwa siswa dipenuhi dengan rasa ingin tahu akan
sesuatu, maka mereka akan dengan segala keinginan dan kesukarelaan akan
mempelajarinya. Setelah memuaskan rasa ingin tahunya, mereka akan merasakan
betapa menyenangkannya hal tersebut. Kejutan-kejutan kepuasan ini akan
meniadakan perasaan bosan belajar.
Itulah beberapa hal yang membuat
rasa ingin tahu dalam diri siswa perlu dibangun dan dikembangkan
2. Strategi pengembangan rasa ingin tahu AUD
Rasa ingin
tahu sangat penting dimiliki anak sejak dini. Untuk itu, orangtua seharusnya
bisa memupuk sifat ini sejak dini guna merangsang kreativitas di masa depannya.
Keinginan
mengetahui berbagai hal dapat menjadi modal penting bagi anak-anak dalam
menjalani masa depannya. Jika perasaan ingin tahu rendah, maka efek negatif pun
akan mandul di kemudian hari. Untuk itu, tak ada salahnya bagi orangtua
membantu anak-anak mereka dalam menumbuhkan rasa ingin tahunya. Berikut ini
beberapa cara yang dapat dilakukan, seperti dilansir Femalefirst.
Ø Ajari
anak untuk selalu membuka pemikiran mereka terhadap hal-hal baru, ataupun
hal-hal yang sudah pernah mereka pelajari.
Ø Ajari
anak untuk tidak selalu menerima suatu hal sebagai sesuatu kebenaran yang
bersifat final.
Ø Ajari
anak untuk selalu dan banyak bertanya.
Ø Ajari
anak untuk jangan pernah sekalipun memberikan label terhadap sesuatu hal
sebagai sesuatu yang membosankan atau tidak menarik
Ø Ajari
anak untuk melihat dan menyadari bahwa belajar itu sesuatu yang menyenangkan.
Ø Biasakan
anak untuk membaca beragam jenis bacaan untuk mengeksplorasi dunia-dunia baru
bagi mereka.
Ada beberapa
strategi dalam Pengembangan Rasa Ingin Tahu AUD yaitu :
a. SERTAI
ALAT PERAGA
Bila anak usanaknya sudah 2-3 tahun namun cenderung pasif dan tidak
banyak tanya cari tahu penyebabnya. Bila mengalami keterlambatan bicara seperti
yang banyak terjadi, berarti hambatan untuk berbicara dan bertanya itulah yang
harus ditangani lebih dulu. Lewat pemeriksaan yang lebih seksama di baganakn
saraf, misalnya, karena tidak tertutup kemungkinan saraf-saraf yang berkaitan dengan
perangkat wicaranyalah yang mengalami gangguan. Atau, bisa jadi otot-otot alat
bicaranya, terutama lidah, belum matang atau berkembang sempurna.
Tapi kalau perkembangannya berjalan wajar, ketika anak mulai menunjukkan
rasa ingintahu, orang tua harus peka dan segera merespon dengan memberi
keterangan sejelas-jelasnya namun singkat dan disesuaikan dengan bahasa anak
seusanaknya. Orang tua harus bangga dan senang, kalau anak rajin bertanya dan
ingin tahu sesuatu karena hal ini sangat positif. Itu tandanya anak punya minat
untuk bereksplorasi terhadap lingkungan sosanaklnya. Jadi, kalau anak bertanya
tentang binatang tertentu yang dilihatnya di TV, sebaiknya, orangtua memberikan
penjelasan verbal disertai alat peraga atau contoh konkret agar bisa dimengerti
anak. Misalnya, mengajak anak ke kebun binatang, sehingga anak bisa melihat
secara konkret seperti apa binatang yang pernah ditanyakannya itu.
b. HARUS
KONSISTEN
Kalau orang tua memang benar-benar sibuk dan tidak bisa sejenak pun
meninggalkan kesibukan tersebut untuk menjawab pertanyaan anak cobalah beri
pengertanakn lebih dulu kepadanya. Misalnya, “Sayang, sekarang Mama harus
menyelesaikan dulu pekerjaan Mama. Nanti kalau sudah selesai, Mama akan jawab
pertanyaan Ade, ya. Dengan cara ini anak sebetulnya juga terbantu untuk belajar
memahami orang tuanya yang sibuk tanpa anak sendiri merasa di-reject atau
ditolak. Tapi tentu orang tua harus konsisten. Setelah selesai dengan pekerjaan
tersebut, orang tua harus menemui anak dan katidakan, “Nah, sekarang Mama sudah
selesai dengan pekerjaan Mama. Tadi Ade mau tanya apa?”
Hasilnya akan sangat berbeda, bila orang tua bersikap tidak konsisten.
Selain rasa ingin tahu anak terpenuhi, respon orang tua juga akan semakin
mendekatkan hubungan dengan anak. Tapi kalau orang tua tidak konsisten, hanya
sekadar berjanji, maka yang ditangkap oleh anak adalah, “Ah, percuma. Mama
bohong, kok.” Secara tidak langsung, orang tua pun telah menanamkan nilai buruk
tentang kejujuran. Selain itu,anak akan mencari dari sumber lain bila pemenuhan
kebutuhan rasa ingin tahunya tidak didapat dari orang tua, sementara sumber
yang anak tanya belum tentu tepat.
Jikapun sumbernya tepat, tapi kalau tanpa penjelasan yang memadai, bukan
tidak mungkin pemahaman anak jadi meleset. Belum lagi kalau anak tahu-tahu
“pandai” omong kotor atau terbanaksa menggunakan umpatan kasar. Memang sudah
selayaknyalah bila orang tua mau sedikit “berkorban” untuk menjawab rasa ingin
tahu anak.
c. DORONG
BERPIKIR KRITIS
Penting diketahui, pemenuhan rasa ingin tahu anak menjadi salah satu
modal bagi perkembangan kecerdasannya. Itulah mengapa, anak yang kritis dan
banyak tanya memiliki korelasi untuk bisa digolongkan sebagai anak cerdas.
Artinya, anak yang cerdas menunjukkan rasa ingin tahu dan kemampuannya untuk
berpikir kritis. Bukan berarti anak yang tidak berpikir kritis itu tidak
cerdas. Kalau orang tua memberi stimulasi pada anak yang kelihatannya pasif,
tentu akan sangat membantu.
Misalnya, “Ini apa, Nak?” sambil menunjukkan aneka benda berlainan bentuk
dan warna. Atau, “ajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengundang kemampuan
berpikir anak.” Misalnya, “Kenapa binatang marah kalau diganggu?” Jadi, anak
yang pendanakm belum tentu tidak cerdas. Bisa jadi anak pendanakm lantaran
orang tua tidak pernah meresponnya untuk banyak bicara ataupun mendorong
berpikir kritis. Yang juga kerap terjadi, orang tua cuma ‘menyuapi.
Ada, anak yang pintar dan tinggi daya tangkap serta daya ingatnya, namun
tidak kritis. Lantaran, orangtuanya cenderung hanya memberi tahu dan sering
memberi respon negatif bila anak banyak bertanya ataupun memarahi kala anak
protes. Bagaimana jika orang tua tidak memberi respon positif karena tidak
tahu? Tidak usah cemas. Menurut Evi, orang tua bisa, kok, mengejar
ketertinggalan si anak.
Namun tentu dengan “bayaran” yang lebih mahal. Artinya, proses pemahaman
pengetahuan si anak akan lebih lambat dibanding teman-temannya, karena
pemahaman yang sama seharusnya sudah diberikan saat anak berada dalam masa golden age di usanak 2-3 tahun. Bukankah
saat itu anak tengah pintar-pintarnya. Jadi, kalau stimulasinya bagus di usanak
itu, anak akan tumbuh optimal menjadi cerdas. Jangan lupa, meski kecerdasan
bersifat herediter atau bawaan, namun tidak akan menjadi optimal bila tidak
diimbangi dengan pemberanakn gizi yang baik dan stimulasi dari lingkungan.
d. BOLEH,
KOK, MELARANG ANAK
Yang penting, dalam melarang harus disertai alasan jelas, sehingga anak
tahu, anak bukan sekadar dilarang tapi ada hal-hal tertentu yang bisa
mencelakakan dirinya ataupun orang lain. Misal, larangan main pisau, bisa
dibarengi dengan memberi contoh memotong buah. Jelaskan, “Ade tidak boleh main
pisau karena pisau ini tajam dan bisa melukai tanganmu. Lihat, nih, Mama potong
jeruk. Nah, terbelah, kan?” Anak pun jadi mengerti kenapa dirinya dilarang main
pisau. “Dengan selalu mengemukakan reasoning anak akan terlatih mengenali apa
kesalahannya atau mengapa anak harus dimarahi orang tua. Cara ini juga
membanaksakan anak belajar konsekuensi, “Saya nggak boleh melakukan ini karena
berbahaya buat saya.”
Tapi kalau anak selalu dilarang, justru akan membuatnya jadi pembangkang.
Coba, perhatikan; semakin dilarang, anak seusia ini akan semakin nekat. Apalagi
di usia anak 3 tahun, anak tengah mengembangkan negativismenya. Kalau dibilang
“Kamu jangan main hujan ya,” anak malah akan main hujan-hujanan. Jadi, semakin
orang tua melarang, anak justru akan melakukan hal-hal yang orang tua larang.
Alangkah baiknya dalam melarang orang tua juga mengajaknya berpikir. Misal,
“Kalau Ade main hujan, nanti gimana?”
Anak mungkin akan menjawab, “Sakit.” Nah, teruskan dengan pertanyaan,
“Kalau sakit, nanti Ade bisa ikut jalan-jalan nggak sama Papa-Mama?” Pancing
terus si anak hingga akhirnya anak sendirilah yang mengambil keputusan untuk
tidak main hujan. Dengan cara ini, bukan cuma larangan orang tua dipatuhi, anak
pun jadi belajar berpikir kritis. Nah, mengembangkan kecerdasannya, kan?
e. SEDIAKAN
ANAK MAINAN BERVARISI
Salah satu bentuk stimulasi yang dianaknjurkan untuk meningkatkan
kecerdasan adalah permainan edukatif. Lewat beragam permainan sederhana, anak
terlatih perkembangan kognitifnya, kemampuan motorik kasar dan halus, maupun
perkembangan intelegensinya. Sebaiknya sediakan mainan bervariasi.
Selain agar anak tidak cepat bosan, pilihlah yang memungkinkan anak dapat
menemukan semua kebutuhannya akan fungsi mainan tersebut. Soalnya, ada
permainan yang melatih daya ingat melalui gambar-gambar, ada yang mengasah
kreativitas, dan ada pula yang bisa mempertajam daya imajinasinya. Sega atau
play station, boleh-boleh saja. Asalkan dibatasi agar tidak merusak mata dan
menjadikan ketagihan. Selain bentuk permainannya juga harus disesuaikan usia
anak anak. Kalau tidak, apa jadinya bila anak usia anak 2-3 tahun asyik
menikmati kekerasan lewat permainan contra dan sejenisnya.
Melakukan berbagai permainan atau aktivitas bersama anak, juga penting
untuk mengembangkan kecerdasannya. Misalnya, main kuda-kudaan, pasar-pasaran,
atau loncat-loncat, dan sebagainya. Jadi, tidak usah malu, bila harus terlibat
dalam permainan anak. Selain itu, beri kebebasan pada anak untuk memanjat atau
melompat di tempat yang anak sukai. Bila Ibu-Bapak keberatan anak
melompat-lompat di tempat tidur, ya, sedanakkan fasilitas yang memungkinkan
anak tetap melakukan aktivitas tersebut.
Begitu pun bila keberatan anak corat-coret tembok, ya, beri fasilitas
untuk kebutuhannya itu. Ulurkan kertas kecil atau besar seperti yang
diinginkannya. Jika anak lebih suka corat-coret di tembok, sedanakkan tembok
khusus untuk dicoreti atau tempelkan sejumlah kertas berukuran besar di salah
satu baganakn tembok. Jelaskan padanya, “Ade boleh corat-coret di sini tapi di
tembok lain jangan, ya.” Pendeknya, orang tua tidak boleh menghambat keinginan
anak namun orang tua juga harus melatihnya bertanggung jawab untuk merapikan
kembali mainannya atau benda-benda lain setelah anak usanak melakukan sesuatu
aktivitas.
sumber bacaan:
Santrock,
jhon w. 2007. Perkembangan anak.
Jakarta: erlangga.
Hurluck,
Elizabeth B. 1978. Perkembangan anak.
Jakarta : erlangga.
Priyatno,
elida. 2005. Perkembangan AUD dan SD. Yogyakarta
:angkasa raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar